Adapun celaan atas kerasnya qalbu, maka Allah Ta’ala telah berfirman:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” (Q.S.2:74)
Kemudian Allah jelaskan sisi lebih kerasnya qalbu dari batu dengan firman-Nya:
وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاء وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّهِ
“Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah” (Q.S.2:74)
Dan Allah telah berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.” (Q.S.57:16)
Dan Allah juga telah berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S.39:22)
Allah menyifati Ahlul Kitab dengan sifat keras qalbu. Dan Ia melarang kita untuk menyerupai mereka.
Sebagian Salaf berkata: qalbu seseorang tidak akan menjadi lebih keras dari qalbu ahli kitab yang telah mengeras.
Dan di dalam Sunan At-Tirmidziy [1], dari hadis Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Janganlah kalian banyak berbicara tanpa disertai dzikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara tanpa dzikir menyebabkan kerasnya qalbu. Dan sungguh orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras”.
Dan dalam Musnad Al-Bazzaar [2], dari Anas, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam, beliau bersabda: “Empat hal yang termasuk penderitaan: Dinginnya pandangan, kerasnya qalbu, panjangnya angan-angan dan kerakusan terhadap dunia”.
Ibnul Jauzi menyebutkan hadis ini dalam “Al-Mawdhuu’aat” [3] dari jalan Abu Dawud An-Nakho’iy Al-Kadzdzaab, dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah, dari Anas.
Malik bin Dinar berkata: “Tidak ada hukuman yang dikenakan kepada seorang hamba, yang lebih besar dari kerasnya qalbu.” Disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam “Az Zuhd”.
Hudzaifah Al-Mar’isyiy berkata: “Tidak ada musibah yang menimpa seorang hamba, yang lebih besar dari kekerasan qalbunya.” Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim.
Adapun sebab-sebab kerasnya qalbu itu sekian banyak.
Di antaranya: banyak bicara tanpa disertai dengan dzikir kepada Allah. Sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar yang terdahulu.
Di antaranya: melanggar perjanjian dengan Allah ta’ala. Allah berfirman:
فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَاقَهُمْ لَعنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu” (Q.S.5:13)
Di antaranya: banyak tertawa. Di dalam Sunan At-Tirmidzi, dari Al Hasan, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shollallaahu’layhiwasallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tawa itu akan mematikan qalbu”. At-Tirmidziy berkata: Diriwayatkan dari perkataannya Al-Hasan.
Ibnu Majah meriwayatkan dari jalan Abu Roja` Al-Jazari, dari Burdun bin Sinan, dari Makhul, dari Watsilah bin Al-Asqo’, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda shollallaahu’alayhiwasallam: “Banyaknya tawa itu mematikan qalbu”.
Dan dari jalan Ibrahim bin Abdullah bin Hunain, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam.
Di antara sebab lainnya adalah: banyak makan, apalagi kalau makanan itu berasal dari sesuatu yang syubhat atau yang haram. Bisyr bin Al-Harits berkata: “Dua hal yang mengeraskan qalbu, banyak bicara dan banyak makan”. Disebutkan oleh Abu Nu’aim.
Al-Marrudziy menyebutkan dalam kitab Al-Waro’, ia berkata: aku berkata kepada Abu Abdillah –maksudnya Ahmad bin Hanbal–: apakah seseorang dapat merasakan kehalusan dari qalbunya dalam keadaan kenyang? Ahmad bin Hanbal berkata: Saya pandang tidak.
Di antara sebabnya adalah: banyaknya dosa. Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (QS.83:14)
Di dalam Al-Musnad dan Sunan At-Tirmidziy, dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang mu`min apabila ia berdosa, maka ada bintik hitam di qalbunya. Maka kalau ia bertaubat dan berhenti serta memohon ampun, dikilapkanlah qalbunya. Dan kalau ia terus berdosa, bertambah pula bintik hitam itu sampai menumpuk pada qalbunya. Itulah ‘tutupan’ yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” At-Tirmidziy berkata: Shahih.
Sebagian Salaf berkata: “tubuh itu kalau tak mengenakan apa-apa, terasa ringan. Demikian pula qalbu (akan terasa ringan) kalau sedikit kesalahannya dan mudah meneteskan air mata.”
Dan berkaitan dengan makna ini, Ibnul Mubarok –semoga Allah merahmatinya– berkata:
“Kulihat dosa itu mematikan qalbu
Dan ketagihan dengannya membuatmu hina
Meninggalkan dosa itulah kehidupan qalbu
Dan lebih baik bagimu untuk menentangnya.”
Sedangkan sebab-sebab yang dapat menghilangkan kerasnya qalbu juga ada beberapa:
Di antaranya: banyak berdzikir kepada Allah dengan qalbu dan lisan secara beriringan. Al-Mu’allaa bin Ziyad berkata: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Al-Hasan: “Wahai Abu Sa’id, aku hendak mengeluhkan padamu kekerasan qalbuku”. Al-Hasan berkata: “Dekatkan ia dengan dzikir’.”
Wahb bin Al-Wird berkata: “Kami timbang-timbang perkataan ini. Maka tidak ada sesuatu yang kami temukan lebih halus untuk qalbu dan lebih dapat mengantarkan kebenaran daripada membaca Al-Quran bagi orang yang mentadabburinya.
Yahya bin Mu’adz dan Ibrahim Al-Khowash keduanya berkata: “Obat qalbu itu lima perkara: membaca Al-Quran dengan tafakkur, kosongnya perut, shalat malam, bermunajat kepada Allah menjelang subuh dan bermajlis dengan orang-orang shaleh.”
Dan dalil tentang menghilangkan kekerasan qalbu dengan dzikir adalah firman Allah:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS.13:28)
Dan firman Allah:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (QS.39:23)
Dan firman Allah:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).” (QS.57:16)
Dan dalam hadis Abdul Aziz bin Abi Rawwad secara mursal, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya qalbu-qalbu ini berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Ada yang bertanya: “Lalu apakah yang bisa menghilangkan karat tersebut wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Membaca kitab Allah dan banyak berdzikir kepada-Nya”.
Dan di antara sebab-sebab tersebut adalah: berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan: Ibnul Ja’d menceritakan kepada kami (dia berkata), Hammad bin Salamah menceritakan kepadaku, dari Abu ‘Imron Al-Jauniy, dari Abu Hurairah: “Ada seorang laki-laki yang mengadukan kekerasan qalbunya kepada Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam. Maka beliau bersabda: kalau kamu ingin qalbumu menjadi lembut maka usaplah kepala anak yatim dan berilah makna orang-orang miskin”. Sanad hadis ini baik.
Lafazh ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hammad bin Salamah. Dan dia juga diriwayatkan oleh Ja’far bin Musafir (dia berkata): Mu`ammal menceritakan kepada kami (dia berkata), Hammad menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imron, dari Abdullah bin Ash-Shoomit, dari Abu Dzar, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam. Dan sepertinya, ini tidak dihafal dari Hammad.
Lafazh ini juga diriwayatkan oleh Al-Jawzajaaniy (dia berkata): Muhammad bin Abdillah Ar-Roqqoosyiy menceritakan kepada kami (dia berkata), Ja’far menceritakan kepada kami (dia berkata), Abu ‘Imron Al-Jauniy menceritakan kepada kami secara mursal.
Inilah riwayat yang lebih tepat, karena Ja’far itu lebih hafal hadis Abu ‘Imron daripada Hammad bin Salamah.
Abu Nu’aim meriwayatkan dari jalan Abdurrozaq dari Ma’mar, dari seorang sahabatnya: bahwa Abu Ad-Darda` menulis surat kepada Salman: “Sayangilah anak yatim dan dekatkanlah ia kepadamu. Berilah ia makan dari makananmu karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda -ketika beliau didatangi oleh seorang laki-laki yang mengeluhkan kekerasan qalbunya-, “Dekatkanlah anak yatim kepadamu dan usaplah kepalanya serta berilah ia makan dari makananmu karena sesungguhnya itu akan melembutkan qalbumu dan membuatmu mampu memenuhi kebutuhanmu”.
Abu Nu’aim berkata: dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Jabir dan Al-Muth’im bin Al-Miqdaam, dari Muhammad bin Waasi’ bahwa Abu Dardaa` menulis surat kepada Salman.. (seperti hadis di atas).
Abu Tholib menukil bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abu Abdillah –maksudnya Ahmad bin Hanbal–: “Bagaimanakah qalbuku bisa lembut?” Ahmad bin Hanbal berkata: “Masukilah tempat pemakaman dan usaplah kepala anak yatim”.
Dan di antara sebab tersebut adalah: banyak mengingat kematian. Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan dengan sanadnya, dari Mansur bin Abdirrohman, dari Shofiyyah dia berkata: “Ada seorang wanita yang datang kepada Aisyah mengeluhkan kekerasaan qalbunya. Maka Aisyah berkata: “Perbanyaklah mengingat kematian maka qalbumu akan lembut dan engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan”. Shofiyyah berkata: “Maka wanita itu mengerjakan apa yang disarankan oleh Aisyah, dan ia pun merasakan hidayah dalam qalbunya. Ia pun datang kembali dan berterima kasih kepada Aisyah rodhiyallaahu’anha”.
Lebih dari seorang dari kalangan ulama Salaf -termasuk di antaranya Sa’id bin Jubair dan Robi’ bin Abu Rosyid- yang telah berkata: “Seandainya mengingat kematian itu lenyap dari qalbu kami walaupun sesaat saja, maka rusaklah qalbu kami”.
Dalam As Sunan, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam beliau bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan,” yaitu: Kematian.
Dan diriwayatkan secara mursal dari ‘Athoo` Al-Khuroosaaniy, dia berkata: “Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam melewati sebuah majlis yang dipenuhi gelak tawa, maka beliau berkata: “Seriuskanlah majlis kalian dengan mengingat pengeruh kenikmatan. Para Sahabat berkata: “Apakah pengeruh kenikmatan itu wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Kematian”.
Dan di antara sebab dalam menghilangkan kekerasan qalbu adalah: Ziarah kubur dengan memikirkan keadaan para penghuninya dan tempat kembali mereka. Dan telah berlalu ucapan Imam Ahmad kepada orang yang bertanya kepadanya mengenai apa yang dapat melembutkan qalbu. Beliau berkata: “Masuklah ke tempat pemakaman”.
Dan telah shahih dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallaahu’alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Ziarahilah pekuburan, karena itu akan mengingatkan kepada kematian”.
Dan dari Buraidah, sesungguhnya Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Aku pernah melarang kalian dari menziarahi kuburan, maka (sekarang) ziarahilah karena itu mengingatkan kalian kepada akhirat”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidziy dan ia menshahihkannya)
Dari Anas: Sesungguhnya Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Aku pernah melarang kalian dari menziarahi kuburan. Kemudian telah nampak bagiku bahwa ia dapat melembutkan qalbu dan membuat air mata berlinang serta mengingatkan pada akhirat. Maka ziarahilah pemakaman tapi janganlah kalian mengatakan kata-kata keji (di dalamnya)”. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Abid Dun-ya)
Ibnu Abid Dun-ya menyebutkan, dari Muhammad bin Sholih At-Tammaar, dia berkata: Shofwan bin Salim pernah beberapa hari mendatangi pemakaman Al-Baqii`, dan ia melewatiku. Lalu aku mengikutinya pada suatu hari. Aku berkata: “Demi Allah aku akan melihat apa yang sedang ia kerjakan”. Dia berkata: “Maka Shofwan bin Salim menutupi kepalanya dan duduk di salah satu makam. Kemudian ia terus menangis sampai-sampai aku kasihan kepadanya”. Dia berkata: “Aku mengira bahwa itu adalah makam salah satu keluarganya”. Dia berkata: “Kemudian ia melewatiku suatu kali, maka aku kembali mengikutinya. Ia lalu duduk di samping makam yang lain. Dan ia melakukan apa yang kemarin ini dia lakukan. Maka aku menyebutkan hal ini kepada Muhammad bin Al-Munkadir. Dan aku katakan: “Sungguh, aku mengira bahwa itu adalah makam salah satu keluarganya”. Muhammad berkata: “Semuanya itu adalah keluarganya dan saudara-saudaranya. Hanya saja dia itu adalah seorang yang qalbunya tersentuh dengan mengingat orang-orang yang sudah meninggal, setiap kali qalbunya dihinggapi kekerasan”. Dia berkata: “Kemudian Muhammad bin Al-Munkadir setelah itu melewatiku dan dia juga mendatangi pemakaman Al-Baqi`. Maka aku mengucapkan salam kepadanya suatu hari. Dan dia berkata: “Pelajaran dari Shofwan itu tidak bermanfaat apa-apa untukmu”. Dia berkata: “Aku mengira bahwa dia telah mengambil manfaat dari pelajaran yang pernah aku ceritakan padanya”.
Dan disebutkan pula bahwa seorang wanita tua yang sering beribadah dari Abdul Qoys, pernah seringkali mendatangi kuburan. Maka ia ditegur atas perbuatannya itu. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya qalbu yang keras itu kalau sudah kasar, tidak ada yang dapat melembutkannya kecuali dengan melihat pemandangan keusangan. Dan sungguh aku mendatangi kuburan, dan seolah-olah aku melihat mereka telah keluar dari permukaan tanah. Lalu seakan aku melihat wajah-wajah yang berdebu itu dan tubuh-tubuh yang telah berubah itu. Juga kain-kain kafan yang kotor itu. Duhai betapa pemandangan itu sedemikian tidak menyenangkan hati mereka. Betapa kepahitan jiwa itu menjadi sebuah pelajaran dan rusaknya badan itu menjadi hal yang sangat berat.”
Ziyaad An Namiiriy berkata: “Tidaklah aku ingin untuk menangis melainkan aku hanya tinggal jalan saja”. Seorang laki-laki berkata padanya: “Bagaimana itu?”. Dia berkata: “Kalau aku menginginkannya (menangi), maka aku keluar menuju pemakaman. Lalu aku duduk di salah satu kuburan. Kemudian aku memikirkan keadaan mereka yang sudah hancur. Dan aku mengingat sisa waktu yang masih kita miliki”. Dia berkata: “Maka pada saat itulah keadaanku tersembunyi”.
Aku katakan, dan Allah-lah yang Maha Pemberi Tawfiq:
Apakah di negeri kehancuran ini kau masih saja membangun
Sedang bukan untuk membangun kau diciptakan
Waktu tak menyisakan bagimu alasan
Ia telah menasehatimu tapi kau tak mendengarkan
Setiap saat ia selalu memanggil untuk berangkat
Dan mengabarkan bahwa kaulah yang ia maksudkan
Ia perdengarkan panggilan dan kau terus mengabaikan
Seakan-akan kau tak pernah mendengarkan
Kau tahu bahwa ia adalah perjalanan panjang
Namun kau lalai menyiapkan perbekalan
Kau tidur sedang sang pemangsa waktu terus mengintai
di belakangmu dan tak pernah tidur, bagaimana bisa kau masih lalai?
Cacat kehidupan dunia ini betapa banyaknya
Sedang engkau sudah terbiasa mencintainya
Hilang usia dalam permainan dan besenang-senang
Kalau kau berakal tentu kau takkan berleha-leha
Maka setelah mati yang ada hanya neraka
Bagi yang maksiat dan surga bagi yang taat
Dan kau tak mungkin berharap kembali ke dunia
Untuk melakukan kebajikan yang pernah kau tinggalkan
Hari itu, diriku lah yang pertama kausalahkan
Karena telah melakukan seperti yang kau kerjakan
Duhai diriku, apakah masih saja berlumur maksiat
Setelah empat puluh enam tahun masa telah lewat
Kuharapkan panjang umurku sehingga
bisa kulihat bekal perjalanan yang telah tersedia
Wahai dahan masa muda yang bergoyang penuh kesegaran
Telah berlalu waktu dan seakan kini kau beruban
Kau telah tahu, maka tinggalkanlah jalan kebodohan
Hati-hatilah dengan panggilan itu, sedang kau tak beramal
Wahai yang menghimpun harta, padaku tolong katakan
Apakah yang kau tumpuk bisa mencegahmu dari kematian
Wahai yang mencari pengaruh dan kekuasaan
agar perintahnya selalu dipatuhi oleh bawahan
Kau bersorak ke tahta tanpa kau pedulikan
kau seorang yang zolim ataukah yang berkeadilan
Tidakkah kau tahu bahwa pada saat ia kau raih
Sungguh, sebenarnya tanpa pisau kau sedang disembelih
Kesenangan pada saat kau diangkat menjadi penguasa
Takkan menggantikan kesedihan pada saat kau diturunkan
Jangan tunda lagi karena waktu adalah pedang
Kalau tak bisa kau manfaatkan maka kau telah menyia-nyiakan
Kau lihat waktu telah mengusangkan dahan pepohonan
Dan melipat semua kesenangan yang pernah kau siarkan
Kau tahu sungguh dunia itu hanya mimpi belaka
Yang paling indah kau rasakan tiba-tiba hilang saat terjaga
Maka bagaimana kau terhalang meraih yang abadi
Dan dengan yang fana serta hiasannya kau dibuat sibuk
Itulah dunia yang kalau sehari menyenangkanmu
Ia akan membuatmu susah lebih lama dari hari senangmu
Ia menipumu bak fatamorgana, kau jalan kepadanya
Tanpa kau sadari bahwa kau telah terpedaya
Saksikan berapa banyak ia menghancurkan yang dicinta
Tapi kau bersikap seolah kau takkan tertimpa apa-apa
Kau kubur mereka dan pulang dengan penuh kegembiraan
Atas warisan dan perkebunan yang kau dapatkan
Dan kau lupakan mereka sedang esok kau pun kan fana
Seolah kau tak pernah tercipta dan tak pernah ada
Kau bercerita tentang mereka dan kau berkata: mereka sudah tak ada
Ya, mereka sudah tak ada, demi Allah, seperti kau pun dulu tak ada
Mereka kini jadi ceritamu, sedang esok kau yang jadi tinggal cerita
untuk orang lain, maka berbuat baiklah sekuat tenaga
Setelah mati, orang hanya tinggal jadi kenangan
Maka jadilah orang yang baik saat dikenang
Tentang sang paman yang telah tiada, tanyakan waktu
Dan tentang sang raja, dengan pertanyaan yang tlah kau tahu
Bukankah kau lihat rumah mereka kini tak berpenghuni
Dan segala yang kau kenal, kini kau ingkari
Dan di antaranya: memandangi negri orang-orang yang hancur, dan mengambil ibroh dari jejak-jejak orang terdahulu.
Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan dalam kitab “At-Tafakkur Wal I’tibaar”, dengan sanadnya dari Umar bin Saliim Al-Baahiliy, dari Abul Waliid, bahwa dia berkata: “Ibnu Umar dulu kalau ia hendak menata qalbunya, ia mendatangi bangunan yang telah hancur, kemudian ia berdiri di pintu bangunan tersebut. Lalu ia berseru dengan suara sedih dan berkata: “Kemanakah penghunimu?”. Kemudian ia merenung dan berkata: “Segala sesuatunya akan hancur kecuali wajah-Nya”.
Ibnu Abid Dun-ya juga meriwayatkan dalam kitab “Al-Qubuur” dengan sanadnya, dari Muhammad bin Qudaamah, dia berkata: “Ar-Robii` bin Khutsaim dulu kalau ia merasakan kekerasan pada qalbunya, maka dia mendatangi rumah seorang temannya yang telah meninggal, pada malam hari. Lalu dia berseru: “Wahai fulan bin fulan! Wahai fulan bin fulan! Kemudian dia berkata: “Duhai, apa yang sudah kamu kerjakan dan apa yang sedang diperbuat kepadamu?”. Lalu dia menangis hingga bercucuran air matanya. Karena ia tahu bahwa dirinya akan seperti itu.”
Dan di antara sebabnya adalah: memakan makanan yang halal. Abu Nu’aim dan yang lainnya telah meriwayatkan, dari jalan Umar bin Sholih Ath-Thurthusiy, dia berkata: “Aku pergi bersama Yahya Al-Jalaa` –dan ada yang mengatakan kalau dia adalah salah seorang Abdaal– ke Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, lalu aku bertanya kepadanya. Dan pada saat itu ia bersama Buuroon dan Zuhair Al-Jammaal. Lalu aku berkata: “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Abdillah, dengan apakah qalbu itu menjadi lembut?” Maka ia memandangi sahabat-sahabatnya dan memberi isyarat dengan matanya. Kemudian dia menundukkan kepalanya lalu mengangkat kepalanya dan berkata: “Wahai anakku, dengan memakan makanan yang halal”. Kemudian aku berpapasan dengan Abu Nashr Bisyr bin Al-Haarits sebagaimana biasanya. Maka aku katakan padanya: “Wahai Abu Nashr, dengan apakah qalbu itu menjadi lembut?” Dia berkata: “Ketahuilah bahwa dengan dzikir kepada Allah, qalbu itu menjadi tenang”. Aku berkata: “Aku datang dari Abu Abdillah”. Ia berkata: “Apa yang Abu Abdillah katakan padamu?” Aku berkata: “Dengan memakan yang halal”. Dia berkata: “Dia telah menjawab dengan jawaban yang paling mendasar. Dia telah menjawab dengan yang paling mendasar”. Lalu aku berpapasan dengan Abdul Wahab Al-Warrooq, dan aku berkata: “Wahai Abul Hasan, dengan apakah qalbu itu menjadi lembut?” Dia berkata: “Ketahuilah bahwa dengan dzikir kepada Allah, qalbu itu menjadi tenang”. Aku berkata: “Sungguh aku datang dari Abu Abdillah”. Maka merahlah pipinya karena begitu senangnya. Dia berkata padaku: “Apa yang Abu Abdillah katakan?” Aku berkata: “Dengan memakan yang halal”. Dia berkata: “Dia telah menjawabmu dengan jawaban yang inti. Dia telah menjawabmu dengan yang inti. Hal mendasar ini adalah kesempurnaan hal mendasar yang ini.”
Sebagian orang ada yang menyebutkan perkataan darinya: “Kau telah menukil sebuah ayat, tapi kau luput menjawab dengan yang lebih tepat”.
Dan segala puji hanya bagi Allah semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar